Sabtu, 15 Februari 2020

Tiga langkah pokok dalam Metodologi Al Bait Al Atiq 

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Pola ruang Ka'bah sebagai gambaran bentuk geometri dari pola takdir Allah, sesungguhnya adalah hal yang mudah dipahami.

Awalnya ini bukanlah sebuah masalah yang pelik, hal yang sangat sederhana yang dapat kita lihat dalam bukti sejarah bahwa sekelompok manusia yang hidup di tengah padang pasir tandus dan boleh dikatakan hidup tak tersentuh peradaban besar, dengan bimbingan seorang Rasul, mampu bangkit dan bertarung dengan peradaban besar dunia dan mengokohkan identitas diri mereka sebagai manusia unggul dan memberi corak baru dalam peradaban manusia.
Namun karena berbagai sebab, dalam perkembangan selanjutnya setelah berakhirnya periode para sahabat Nabi SAW, pemahaman kita tentang takdir Allah menjadi masalah yang telah membuat pemahaman kita tentang Islam menjadi tidak menyeluruh, parsial dan terdikotomi yang terjadi karena kesalahan pola berfikir yang tidak selaras dengan pola ketentuan takdir Allah.
Secara sederhana, permasalahan kita adalah karena kesalahan menggunakan pola berfikir atas permasalahan yang kita hadapi yang pada umumnya  menggunakan pola gerak Sa’i (gerak bolak balik ) atas sesuatu yang seharusnya menggunakan pola gerak Thawaf ( gerak melingkar / gerak menyeluruh), serta menggunakan pola piramida atas pola kubus Ka’bah.
Kita telah kehilangan ingatan akan konsep awal yang sederhana dalam memahami takdir Allah.
Padahal pemahaman kita tentang takdir / ketentuan Allah adalah hal mendasar, karena Al Qur’an pun merupakan bagian dari takdir / ketentuan Allah yang ditulis Al Qalam (pena) dalam Lauh Mahfudz.
Ada 3 kesimpulan pokok tentang pemahaman kita pada pola ruang Ka’bah sebagai analogi dari pola takdir Allah yang dapat kita jadikan pedoman dalam bersikap, yaitu :

  1.  Menyatakan Tiada Tuhan Selain Allah dengan Mempertahankan kesatuan makna Asmaul Husna dalam memaknai wujud Allah dalam satu kesatuan yang utuh dan tidak terbagi.

  2. 2.   Semua telah ditentukan Allah, namun ketentuan Nya bukanlah sebuah garis,             melainkan rangkaian garis yang saling terhubung, unik dan rumit yang membentuk ruang hidup seluruh mahluk secara menyeluruh (Qadha), dimana manusia sebagai khalifah di muka bumi berhak memilih garis mana yang akan dia jalani dan manusia diwajibkan memilih garis yang sesuai petunjuk Allah agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat (Qadhar)”.

    3.    Membangun tiang / rukun dalam ruang takdir Allah agar memiliki keluasan gerak, karena takdir Allah adalah ruang yang berisi kumpulan rangkaian garis yang rumit, unik dan berhubungan (Rukun Iman dan Rukun Islam). Ketika mulai melangkah memasuki ruang takdir Allah, memohon petunjuk dan pertolongan dari Allah sebagai sebuah senjata andalan agar diberi kemudahan dan kelapangan dalam menelusuri jalan di dalam ruang takdir Nya (Doa) serta berusaha menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Nya (Taqwa), tetap bergerak dalam ruang dalam kondisi apapun, memilih jalan terbaik dari berbagai pilihan jalan yang tersedia dalam ruang takdir Allah (Ikhtiar) dengan keyakinan bahwa Allah menyaksikan segala langkah / keputusan yang diambil (Ihsan) kemudian berpegang teguh pada keyakinan kebenaran yang diterima dalam keadaan apapun dalam ruang takdir Allah (sabar), selalu mengambil sikap meluas jika menghadapi keterbatasan ruang gerak dengan meyakini kebesaran Allah (Ikhlas) dan menerima dengan kesadaran penuh bahwa semua hal diserahkan kepada kekuasaan Allah, tidak menyangkalnya (Tawakkal)
     

  Jika ketiga pedoman ini dapat kita pahami, maka akan sangat mudah mengurai peliknya pemikiran umat Islam saat ini yang kita lihat dari adanya perbedaan pemahaman di bidang teologi.
Kita dapat menganalisa satu per satu sempitnya ruang pemikiran yang mereka bentuk dalam pola ruang Ka'bah yang luas.

Wallahu'alam