Sabtu, 25 Februari 2012

Perbedaan adalah Rahmat

Untuk memahami makna kata Rahmat, kita dapat melihat di dalam Al Qur’an dengan menggunakan indeks kata Al qur’an pada kata RAHMAT. Dari situ kita ketahui bentuk dari rahmat Allah kepada manusia, seperti : ditangguhkannya hukuman, diberikan petunjuk, keringanan hukuman, dihindarkan dari kesesatan, diutusnya seorang nabi pada suatu kaum, perilaku lemah lembut, diteguhkan pada kebenaran, dijauhkan dari azab, datangnya hujan, diberikan pengampunan, terhindar dari bahaya, disembuhkan dari penyakit, diselamatkan dari orang kafir, diberi kekuasaan, diberikan penjelasan, terhindar dari perselisihan, diberikan hikmah, tidak dilenyapkannya wahyu yang telah diturunkan, diberikan perlindungan, diberikan ilmu pengetahuan, dijaganya warisan, diberi keturunan yang shaleh, diberikan pendamping dalam perjuangan, dikumpulkan kembali dengan keluarga, diberikan kesabaran, dimasukkan ke dalam golongan orang shaleh,  diciptakannya malam dan siang, dihembuskannya angin, kapal yang dapat berlayar di lautan, dihidupkan bumi yang telah mati (ditumbuhkannya tanaman setelah turunnya hujan), rasa takut pada siksaan Allah, diperbanyak anak keturunan,  ditundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi bagi manusia, diberikan rasa persaudaraan sesama muslim, diberikan rasa  saling berkasih sayang sesama manusia, dihadiahkan surga di akhirat.

Jadi kita dapat menarik kesimpulan bahwa RAHMAT ALLAH adalah “KEMUDAHAN YANG MEMBERIKAN KELUASAN YANG MENCIPTAKAN KEDAMAIAN HIDUP”  pada segala sisi kehidupan manusia.
Jika pernyataan “Perbedaan adalah Rahmat” itu memiliki dasar hukum yang benar, maka sesungguhnya perbedaan itu akan melahirkan sebuah  “KEMUDAHAN YANG MEMBERIKAN KELUASAN YANG MENCIPTAKAN KEDAMAIAN HIDUP”  pada segala sisi kehidupan manusia.
Dalam metodologi Al Bait Al Atiq, kita mengetahui bahwa Ketentuan Allah meliputi segala sesuatu dan Ketetapan Allah adalah ketetapan dengan pola ruang yang tinggi dan luas dan Allah telah menetapkan petunjuk Nya sebagai ALAT PEMBEDA tentang bagaimana manusia membentuk pola gerak hidupnya sesuai dengan petunjuk  Allah.
Sesungguhnya perbedaan itu merupakan sebuah bukti tentang keberadaan (eksistensi) sesuatu.
Perbedaan adanya siang dan malam merupakan bukti adanya eksistensi keduanya antara terang dan gelap.Tidak kita mengetahui terang jika kita tidak mengenal gelap demikian sebaliknya.
Jadi jika perbedaan adalah Rahmat, maka perbedaan inilah yang mengukuhkan adanya eksistensi bahwa ada yang benar dan ada yang salah dalam kehidupan manusia.
Inilah Rahmat Allah dari diciptakannya perbedaan.
 Wallahu'alam Bissawab.

Catatan : Untuk lebih memahami makna pola ruang Al Qur'an dapatlah kiranya membaca tulisan dalam blog ini berjudul : Manhaj Al Bait Al Atiq

Minggu, 05 Februari 2012

SUMBER PERPECAHAN UMAT ISLAM

1. Kehilangan pola pikir Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW, yaitu pola pikir ruang.
2. Memperlakukan sejarah seperti seorang Marxist.
3. Membangun pola pikir piramida seperti :
a.Mengambil sebuah tafsir seorang ulama sebagai suatu paket utuh tanpa perlu perbandingan dan koreksi.
b. Hilangnya musyawarah.
c. Tidak memberi  tempat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. Menjadikan pola politik kekuasaan sebagai panglima (Politik adalah panglima).
5. Ketidaktegasan pemberlakuan hukum .
6. Menjadikan Al Qur’an sebagai sesuatu yang asing bagi perkembangan kebudayaan lokal yang dianggap hanya memaksakan pakaian gamis, memelihara janggut dan main ketimpring (arabisasi).
7. Meragukan kebenaran Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW salah satunya dengan melakukan pemisahan   antara Islam dengan negara dan mengakui adanya pembawa risalah yang lain setelah Rasulullah Muhammad SAW.

Wallahu’alam bissawab.

 Catatan : Untuk lebih memahami makna pola ruang Al Qur'an dapatlah kiranya membaca tulisan dalam blog ini berjudul : Manhaj Al Bait Al Atiq

Selasa, 31 Januari 2012

Tahapan metodologi Al Bait Al Atiq

Sebagaimana layaknya sebuah metodologi, metodologi Al Bait Al Atiq atau disebut juga metodologi ruang Ka’bah, memiliki beberapa tahapan – tahapan dalam membuka jalan menuju pada tujuan akhir dari ajaran Islam yaitu Kedamaian, Keberserahan diri dan menjadikan nilai nilai tersebut sebagai Rahmatan Lil Alamin yang berlandaskan pada nilai – nilai Tauhid dengan cara membangun Rukun Iman dan Rukun Islam.
Metodologi Al Bait Al Atiq adalah sebuah metodologi ruang yang di bangun diatas pondasi hukum dan tiang – tiang / rukun – rukun yang membentuk ruang tersebut.
Pondasi bangunan ruang metodologi ini adalah Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW, sedangkan tiang – tiangnya adalah rukun Iman dan Rukun Islam.

Tahapan – tahapan metodologi Al Bait Al Atiq adalah sbb:
1.       Mengetahui pola takdir Allah.
Jika kita ibaratkan , pola takdir Allah seperti sebuah ruangan dimana di dalam ruangan tersebut telah terdapat dinding dan lantainya. Pada lantai ruangan tersebut telah terdapat pola garis – garis lantai / ubin / keramik lantai yang saling bersilangan satu dengan yang lainnya.
Ketika kita memasuki ruangan tersebut, garis – garis lantai itu telah ada sejak awal kita memasuki ruangan tersebut dan akan tetap ada tidak berubah kecuali bangunan itu dibongkar.
Garis – garis lantai tadi diibaratkan merupakan garis – garis ketetapan Allah dimana garis – garis tersebut sudah ada sejak awal dan tidak berubah sama sekali, namun ternyata garis – garis yang bersilangan itu membentuk ruang gerak bagi manusia dimana manusia memiliki kebebasan dalam memilih garis – garis mana yang akan dia lewati.
Garis – garis yang telah manusia lewati itu menjadi catatan perbuatan manusia, sedangkan yang belum dilewati masih menjadi misteri bagi manusia dan dalam menjalani garis – garis tersebut, seorang muslim diwajibkan berdoa kepada Allah agar terhindar untuk memilih garis yang merugikan kebebasan hidupnya karena di dalam ruangan tersebut berlaku suatu energi kekuatan yang mampu membuka atau menutup garis / jalan di dalam ruangan tersebut.
Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa takdir Allah adalah ketetapan yang detail dan bersifat mutlak tidak dapat berubah sejak awal hingga akhir, namun ketetapan Allah tersebut membentuk pola ruang gerak sebagaimana pola susunan Al Qur’an dan pola gerak thawaf yang memberikan ruang kepada manusia untuk dapat bergerak dengan bebas.
Ruang takdir Allah ini akan selalu bertambah luas dan bebas jika dalam kehidupan ini kita mendapat Rahmat dari Allah dengan cara mendirikan shalat, membayar zakat dan melaksanakan perintah Rasul, karena seluruh perintah Rasullulah Muhammad SAW pada intinya merupakan perintah mendirikan tiang / rukun (tiang = rukun) yaitu rukun Iman dan rukun Islam

2.       Memahami makna Asmaul Husna.
Asmaul Husna merupakan Nama – Nama Allah yang mengandung sifat – sifat Nya dan merupakan “Tangan Hukum” Nya. Dari penjelasan pada poin 1 di atas dikatakan bahwa dengan berdoa kita dapat terhindar dari hal – hal yang merugikan hidup kita serta ditunjukkan pada jalan yang benar, jalan yang lurus, jalan keseimbangan dan dalam berdoa kita disarankan menyebut Nama – Nama Allah seperti yang dicontohkan dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Asmaul Husna bukan saja merupakan Nama – Nama Allah yang mengandung Sifat – Sifat Nya, tetapi juga merupakan bentuk pengetahuan yang memuaskan akal pikiran kita tentang eksistensi Allah dan merupakan sebuah cara untuk menemukan Allah secara empiris yaitu suatu keadaan yang bergantung pada bukti atau konsekuensi yang teramati oleh indera.
Kebanyakan dari kita menganggap Tuhan adalah masalah keyakinan dalam arti hanya dapat ditangkap wujud Nya lewat keyakinan hati dan tidak dapat diungkap lewat akal pikiran.
Padahal sesungguhnya Islam  memerintahkan kepada kita untuk menangkap wujud Allah tidak saja lewat keyakinan hati namun juga lewat akal pikiran.
Asmaul Husna merupakan bahasa akal, yang harus diterapkan di dalam hati manusia. Hal ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW : “Allah memiliki 99 Nama, barangsiapa menghapalnya dia masuk surga”.
Menghapal merupakan gerak akal, bukan gerak hati dan inilah kemudian yang menjadi dasar pernyataan bahwa Asmaul Husna merupakan bahasa akal dalam menemukan wujud Allah.
Allah itu Esa, Meliputi Segala Sesuatu, Tidak Serupa dengan Mahluk, Maha Nyata namun Maha Ghaib, dst (99 Asmaul Husna).
Disinilah kita diajarkan bagaimana berpikir dalam pola ruang, yaitu menyatukan segala hal yang jumlahnya banyak, saling bertentangan dalam satu pola ruang yang utuh, luas dan tinggi.

3.       Mencari koneksitas suatu masalah dalam ayat – ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Koneksitas ayat – ayat Al Qur’an antara satu dengan yang lainnya dapat kita lakukan dengan menggunakan indeks kata dan dari sana kita dapat membuat sebuah kesimpulan.
Kesimpulan pribadi yang kita dapat berdasarkan hasil pengamatan tidak serta merta merupakan kesimpulan akhir, melainkan harus disandingkan dan diperbandingkan dengan hadits Nabi Muhammad SAW karena Nabi SAW merupakan rujukan berikutnya  yang akan menjelaskan kepada kita secara lebih nyata makna suatu masalah yang kita hadapi mengenai ajaran agama Islam.

4.       Membuat kesimpulan.
Kesimpulan yang dibuat atas sebuah masalah haruslah merupakan sebuah kesimpulan yang utuh dan lengkap hasil dari pencarian atas koneksitas ayat – ayat Al Quran dan Hadits Nabi SAW.

5.       Uji coba.
Uji coba dari kesimpulan yang kita dapat, kemudian kita sandingkan dan perbandingkan dengan realitas kehidupan kita baik dahulu maupun sekarang.
Uji coba pertama yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan kesimpulan yang telah kita dapat pada pola ruang Ka’bah dan gerak Thawaf yaitu gerak menyeluruh pada seluruh isi Al Qur’an.

6.       Kesimpulan akhir.
Hasil Kesimpulan dari uji coba pertama harus kita uji coba lagi hingga menghasilkan kesimpulan yang kuat dan utuh.
Namun perlu diketahui bahwa berpikir dalam pola ruang sangat tergantung dari perkembangan pengetahuan manusia pada lingkungannya dan selalu menyerap pengetahuan yang berkembang. Setiap kesimpulan yang telah ada dapat terus “direvisi” kecuali tentang Rukun Iman dan Rukun Islam.


 Catatan : Untuk lebih memahami makna pola ruang Al Qur'an dapatlah kiranya membaca tulisan dalam blog ini berjudul : Manhaj Al Bait Al Atiq

ISLAM MARXIST

Jika kita mengamati  bagaimana umat Islam menyikapi sejarah, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kebanyakan kita saat ini memiliki pola pemikiran layaknya seorang Marxis yang menganggap bahwa keberadaan kita saat ini adalah hasil dari sejarah dan sejarah itu akan terus menerus kita bawa sebagai landasan bersikap.
Timbulnya banyak golongan dalam umat Islam kebanyakan hanya ingin mempertahankan “sikap sejarah” masa lampau padahal Islam mengajarkan bahwa sejarah hanya merupakan sebuah catatan masa lalu untuk dipelajari bukan hal yang dijadikan landasan bersikap.
Islam Syiah mengagungkan “luka sejarah” masa lalu, menciptakan tembok pemahamannya sendiri.
Islam Suni awalnya dipimpin oleh orang – orang yang memiliki dendam masa lalu atas kekalahan nenek moyang mereka (kafir Qurasy) atas kaum muslim terutama pada keluarga Nabi SAW dan dendam itu terus dilestarikan hingga ketika tiba saatnya untuk membalas,  mereka  membalas dengan sangat keji.
Kedua belah pihak akhirnya sampai hari ini tak dapat disatukan. Keduanya telah membangun temboknya masing – masing.
Yang harus kita bangun saat ini adalah umat Islam yang berpola pikir Ahlussunah Wal Jama’ah yang sesungguhnya  dengan kembali memahami sejarah sebagai  sebuah catatan yang dapat kita pelajari, bukan sebagai landasan kita bersikap atau merupakan hal yang menciptakan keberadaan kita saat ini.

 Catatan : Untuk lebih memahami makna pola ruang Al Qur'an dapatlah kiranya membaca tulisan dalam blog ini berjudul : Manhaj Al Bait Al Atiq