Senin, 28 November 2011

Kesalahan menginterpretasikan Al Qur'an

MENGINTERPRETASIKAN RUANG DENGAN GARIS

Sering kita dengar dan baca tentang kesalahan interpretasi Al Qur’an. Interpretasi yang berarti  pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu; tafsiran; sering dinyatakan salah oleh seseorang ketika mendengar atau membaca suatu interpretasi atas suatu atau beberapa  ayat Al Qur’an.
Ketika seseorang menyatakan interpretasinya tentang Islam berdasarkan atas apa yang dia baca dalam Al Qur’an, dan kemudian berpendapat bahwa Islam adalah agama kekerasan dan teror dan menunjukkan ayat – ayat yang berhubungan dengan hal tersebut, maka sebagai seorang muslim, kita harus menyatakan persetujuan kita terhadap pernyataan tersebut malahan kita seharusnya kemudian memberikan tambahan bahwa Islam tidak hanya merupakan agama kekerasan dan teror, namun juga agama kuda, agama yang menakut – nakuti, agama poligami dan sebagainya.
Kita tidak dapat menolak hal tersebut dinyatakan, karena jika kita menolaknya berarti kita menolak ayat di dalam Al Qur’an. Namun yang harus sangat diketahui adalah pola pikir yang digunakan dalam melakukan interpretasi terhadap Al Qur’an.
Kita harus melakukan interpretasi terhadap Al Qur’an dengan pola Al Qur’an itu sendiri yaitu pola ruang yang menyeluruh dan terintegrasi secara utuh.
Interpretasi ayat Al Qur’an yang menghasilkan kesimpulan bahwa Islam adalah agama kekerasan dan teror adalah interpretasi dengan menggunakan pola garis,yaitu interpretasi yang sepotong – sepotong, tidak utuh, padahal pola gerak Al Qur’an adalah pola ruang.
Kita tidak dapat menyangkal interpretasi seseorang yang menyatakan hal tersebut karena interpretasi tersebut adalah seperti sebuah garis di dalam ruang, bahkan garis itulah yang ikut membentuk ruang. Namun sesungguhnya setiap garis itu terkoneksi dengan garis – garis yang lain di dalam ruang hingga membentuk ruang yang utuh.
Garis hanyalah bagian dari ruang namun garis bukanlah ruang. Ruang bukanlah garis namun ruang meliputi garis.
Sebagai contoh yang umum adalah adanya paham Jabariyah (fatalisme) dan Qadariyah (freewill). Kedua paham yang bertentangan tersebut memiliki dasar – dasar hukum yang tegas dan jelas di dalam Al Qur’an dan kita tidak dapat membantahnya.
Namun ternyata kedua paham yang saling bertentangan tadi sesungguhnya hanyalah memiliki landasan hukum yang sebagian sebagian saja, yang berarti paham Jabariyah dan Qadariyah hanyalah paham yang  lahir dari interpretasi yang tidak utuh terhadap Al Qur’an atau dengan kata lain menginterpretasikan ruang dengan pola garis dimana hasilnya tidak menyeluruh.
Jadi bila seseorang menyatakan bahwa Islam adalah agama kekerasan dan teror sambil menunjuk beberapa ayat di dalam Al Qur’an hal yang mendukung pernyataanya, maka kita tidak dapat membantah ayat tersebut, namun pernyataan tersebut tidak menyeluruh karena di dalam Al Qur’an juga terdapat ayat yang menyatakan cinta kasih terhadap sesama manusia, saling menghormati dan saling bekerjasama.
Hal yang paling sederhana tentang bagaimana membentuk interpretasi ruang terhadap Al Qur'an adalah dengan menggunakan indeks kata yang terdapat dalam Al Qur'an. Cara ini akan membentuk pola pikir kita meruang, luas dan tinggi. 

 Catatan : Untuk lebih memahami makna pola ruang Al Qur'an dapatlah kiranya membaca tulisan dalam blog ini berjudul : Manhaj Al Bait Al Atiq

Minggu, 20 November 2011

KETERBELAKANGAN UMAT ISLAM

ISLAM TERBELAKANG DALAM HAL APAPUN. Banyak tulisan tentang hal tersebut di berbagai media. Hal yang harus kita perhatikan dengan seksama karena hal ini menyangkut  eksistensi makna Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Pandangan tersebut muncul dengan data – data yang dapat dikatakan akurat  dan memang dmikianlah keadaanya.
Namun ada beberapa pertanyaan balik terhadap kritik tersebut yaitu mengenai pola pikir apakah yang digunakan dalam menilai Islam yang menghasilkan jawaban bahwa Islam itu terbelakang dalam hal apapun ?.
Perlu kita ketahui bahwa Islam memiliki pola pikir yang berbeda dengan pola pikir yang pernah manusia manapun pernah ketahui. Pola pikir Islam adalah pola pikir ruang yang luas dan tidak dapat menerima pola pikir yang sempit.
Pola pikir Islam disadari ataupun tidak disadari merupakan pola pikir Al Qur’an yang berintikan pada nilai – nilai Tauhid yang memiliki keluasan yang terbentuk dari absolusitas hukum – hukum Allah. Setiap muslim yang pernah bersentuhan dengan Al Qur’an, tentulah memiliki pola pikir seperti ini disadari ataupun tidak disadari.
Ketika sekelompok orang menyatakan bahwa secara ekonomi umat Islam terbelakang, maka kita dapat balik bertanya dengan pola apakah mereka menilai umat Islam terbelakang dalam bidang ekonomi ?. Kebanyakan mereka menilai bahwa umat Islam itu terbelakang dikarenakan mereka menilainya dengan pola kapitalis atau pola lainnya diluar pola ekonomi Islam.
Jelaslah umat Islam terbelakang dalam bidang ekonomi  dalam system kapitalis karena umat Islam sesungguhnya tidak dapat menerima penerapan system ekonomi tersebut.
Kita telah menyaksikan bagaimana pola system kapitalis menggurita, namun pada kenyataannya system ini dibangun atas dasar penguasaan manusia atas manusia yang lain.
Ketika kapitalisme mulai goyah, maka harus ada yang dikorbankan agar kapitalisme dapat tumbuh kembali.
Kita tentu ingat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dimana negara kita, Indonesia terkena dampak paling buruk pada saat itu. Hal ini bukanlah yang yang tidak disengaja, melainkan hal yang sangat disengaja karena kapitalisme yang didasarkan atas penguasaan manusia atas manusia yang lain itulah yang menginginkan hal tersebut terjadi, karena gerak ekonomi kapitalisme pada saat itu telah jenuh dan membutuhkan korban baru untuk dieksploitasi.
Selain itu ada kekuatan ekonomi baru yang diharapkan mampu untuk dieksploitasi yaitu, China yang baru saja membuka dirinya bagi dunia luar sehingga harus diciptakan adanya ruang gerak bagi China untuk berkembang.
Jelas umat Islam terlihat terbelakang dalam bidang ekonomi kapitalis karena para ulama Islam menyadari bahwa sistem kapitalis bukanlah Rahmatan Lil Alamin sehingga tidak berkeinginan terlibat dalam sistem tersebut secara total termasuk sistem riba yang diharamkan dalam Islam dan dalam terpaan krisis ekonomi tersebut ternyata pola ekonomi ruang lah yang mampu bertahan. Para pengusaha kecil lah yang selalu diinjak – injak dalam sistem kapitalis tersebutlah yang mampu membangkitkan kembali perekonomian Indonesia untuk kembali bertarung dalam sistem kapitalis dunia, untuk kembali dieksploitasi.
“Invisible Hand” yang dimaksud oleh Adam Smith sesungguhnya merupakan rasa tanggung jawab dari manusia – manusia yang memiliki nurani terbukalah yang mengembalikan suatu keadaan yang hancur untuk kembali pulih kepada keadaan sediakala dan kesadaran nurani inilah yang dieksploitasi para kapitalis untuk kembali membangun kerajaan mereka dengan selalu menyatakan bahwa kapitalisme tidak akan pernah mati.
Demikian juga dalam bidang ilmu pengetahuan yang berpusat pada sistem kapitalis tersebut  dimana umat Islam terlihat terbelakang karena pola pengetahuan yang dibentuk tidak dapat memanusiakan manusia.
Dalam bidang politikpun, umat Islam dikatakan tidak memilki kekuatan politik yang kuat dan hal ini dapat kita buktikan sejak dahulu hingga saat ini. Hal inipun sesungguhnya disebabkan oleh kebingungan kita dalam mengikuti pola politik piramida.
Islam hanya mengenal pola politik Ka’bah, pola politik ruang, pola politik musyawarah, hingga para ulama Islam merasa sukar dalam menerapkan pola politik piramida yang merupakan lambang paganisme.
Perkataan ini bukanlah pelarian atas segala keterbelakangan yang terjadi, namun sesungguhnya demikianlah keadaan yang sesungguhnya terjadi.
Banyak yang mencoba melebur dan berbaur dengan sistem diluar Islam untuk mencari sintesa baru yang malah membuat pola ruang pikir Islam semakin menyempit.
Satu hal dari segala permasalahan yang dihadapai umat Islam yang harus kita perhatikan dengan sungguh – sungguh adalah bagaimana menemukan pola pikir Islam yang sesungguhnya, yaitu pola pikir yang berdasarkan Al Qur’an dan Al Hikmah, pola pikir Al Qur’an, pola ruang Ka’bah dengan pola gerak thawaf nya ( pola gerak melingkar dan menyeluruh ), pola pikir yang tidak ada tandingnya dimuka bumi ini sejak manusia itu ada hingga hari ini. Wallahu’alam.
Catatan : Untuk lebih memahami makna pola ruang Al Qur'an dapatlah kiranya membaca tulisan dalam blog ini berjudul : Manhaj Al Bait Al Atiq

Sabtu, 12 November 2011

the cube

The cube 

Enam ribu tahun yang lalu sebuah kubus di bangun kembali di muka bumi, di kota Mekkah, sebagai sebuah alat petunjuk yang datang dari langit.
Sebuah alat  yang  memiliki kode – kode rahasia yang harus dapat dipecahkan  akal fikiran manusia , sebab kubus ini dinyatakan sebagai petunjuk yang mampu membebaskan manusia dari segala macam penderitaan hidup di muka bumi.
Enam ribu tahun yang lalu, Ibrahim AS dibantu anaknya Ismail AS, merekonstruksi kembali bangunan kubus Ka’bah yang telah dibangun oleh manusia pertama, Adam AS yang kemudian hancur saat banjir besar datang pada zaman Nuh AS.
Petunjuk yang berisi kode – kode rahasia ini harus terus dijaga agar petunjuk dari  langit ini mampu dibuka lewat petunjuk kitab ruang , Al Qur’an.
Pola susunan Al Qur’an ini merupakan sebuah rekaman pola gerak dalam ritual ibadah Thawaf, yaitu ibadah mengelilingi bangunan Ka’bah. Sebuah ritual berkeliling Ka’bah yang di mulai dari Hajar Aswad, Multazam, Pintu, Hijir Ismail , Rukun Irak, Rukun Yaman dan kembali ke titik mula perjalanan yaitu Hajar Aswad dan ini diulang sebanyak 7 kali sebagaimana Allah menyatakan bahwa Al qur’an merupakan 7 ayat yang diulang – ulang.
Pola gerak melingkar ini bila kita runtut dan kita ucapkan dengan kata – kata merupakan sebuah gerak yang terputus – putus karena bagian Ka’bah yang kita lewati dalam satu lingkaran Thawaf adalah bagian yang berbeda – beda dan gerakan inipun berulang – ulang sebanyak 7 kali.
Dalam melaksanakan ritual Thawaf tadi, kita menjadikan Ka’bah sebagai pusat gerakan kita. Dimana Ka’bah merupakan sebuah bangunan yang membentuk sebuah ruang di dalamnya yang dapat kita ambil maknanya.
Ka’bah adalah pola ruang tandingan atas piramida, antara kebebasan dengan tirani.
Ka’bah memiliki pola yang sama antara dasar bangunan dengan atapnya yang memberikan kebebasan bagi siapapun untuk mencapai tingkat tertinggi tanpa harus menginjak yang lain karena setiap manusia yang menginginkan posisi yang tinggi harus mampu terlebih dahulu membangun tiang – tiang (rukun) Iman dan Islam sebagai tiang panjatan menuju tempat yang tinggi.
Sedangkan piramida adalah lambang penguasaan manusia atas manusia yang lain karena bentuk atas bangunannya sangat sempit mengerucut bila dibandingkan bentuk dasar bangunannya dan untuk mencapai puncaknya kita tinggal memanjat lewat kemiringan sisi bangunan piramida tersebut dan begitu sampai di atas kita harus mendorong orang yang terlebih dahulu sampai di puncak piramida, karena bidang pijakan bagian atas piramida hanya cukup untuk satu orang saja. Jika memiliki kesempatan mencapai puncak, kita harus waspada karena akan banyak orang yang akan mendorong jatuh diri kita.
Kebebasan yang berasaskan musyawarah (demokrasi) yang berlandaskan pada hukum tentang pola ruang gerak yaitu Al Qur’an dan Al Hikmah.
Tidak ada kedamaian tanpa keadilan, tidak ada keadilan tanpa kebebasan gerak, tidak ada kebebasan gerak tanpa ruang gerak dan tidak ada ruang gerak tanpa hukum absolut tentang ruang gerak.
Mari kita bangun Ka’bah (The Cube) dengan gerak melingkar yang menyeluruh (thawaf).
Jangan biarkan akal menutup hati kita, jangan biarkan hati menutup akal kita.
Biarkan akal menerangi hati kita dan biarkan hati menerangi akal kita..

 Catatan : Untuk lebih memahami makna pola ruang Al Qur'an dapatlah kiranya membaca tulisan dalam blog ini berjudul : Manhaj Al Bait Al Atiq

Geometri dalam alam pikiran manusia

Kemampuan geometri setiap manusia disimpulkan sudah ada sejak lahir. Artinya, kemampuan ini bersifat alamiah. Kesimpulan ini didapat dilakukan penelitian terhadap suku Mundurucu, Amazon, Amerika Tengah. Kepada mereka, diberikan sejumlah pertanyaan mengenai garis, titik, dan sudut. Soal yang sama juga diberikan kepada sejumlah anak-anak sekolah di Perancis dan Amerika Serikat.

Hasilnya, cukup mengejutkan. Suku Mundurucu yang tidak pernah mengecap pendidikan dan tidak pernah sama sekali diperkenalkan dengan soal-soal geometri dasar, dapat menjawab dengan sempurna. Jawaban yang diberikan suku Munducuru sama dengan jawaban yang diberikan oleh anak-anak sekolah di Perancis dan Amerika Serikat.

Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam Makalah Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Amerika Serikat.
Pengetahuan tentang geometri dasar yang dipelajari sekarang ini diperkenalkan oleh ahli matematika Yunani, Euclid, 2300 tahun yang lalu. Euclid dari Alexandria dikenal sebagai bapak geometri.

Geometri Euclid berisi tentang bahwa proposisi bahwa dua titik dapat dihubungkan dengan garis, sudah sebuah segitiga atau proposisi dua garis yang sejajar tidak akan pernah berpotongan.

Pengetahuan ini diyakin baru didapat dari pendidikan formal. Yang jadi perdebatan adalah apakah kapasitas atau intuisi tentang geometri, ada di setiap orang tanpa pandang perbedaan bahasa dan tingkat pendidikan.

Studi tentang pengetahuan geometri antara suku Mundurucu di Amazoan dan anak-anak sekolah di Perancis dan Amerika Serikat dilakukan oleh peneliti asal Perancis, Pierre Pica dari Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan dibantu beberapa peneliti lainnya.
"Suku Mundurucu hanya mengenal angka. Tidak ada yang mengajari mereka istilah-istilah geometri seperti lingkaran, segitiga atau proposisi bahwa dua garis yang sejajar tidak akan berpotongan. Ini menandakan dalam bahasa mereka tidak mengenal konsep-konsep geometri", ujar Pica dalam wawancaranya dengan BBC News.

Dalam penelitian di suku Mundurucu, Pica mengambil sampel 22 anak remaja dan 8 anak-anak. Metoda penelitiannya dilakukan dengan cara berdialog dan bertanya dengan geometri.

Pertanyaan yang sama juga diajukan ke 30 anak remaja dan anak-anak di Perancis dan Amerika Serikat. Yang kecil berumur 5 tahun.

Jawaban yang diberikan oleh suku Mundurucu sama akuratnya dengan jawaban yang diberikan oleh respoden di Perancis dan Amerika Serikat. Mereka sepertinya memiliki intuisi tentang garis dan bentuk-bentuk geometri tanpa pernah melalui pendidikan formal atau pernah menggunakan bahasa-bahasa geometri.



Malah, dalam beberapa hal suku Mundurucu punya kemampuan yang lebih ketimbang responden di Perancis dan Amerika Serikat. Seperti misalnya dengan bentuk bulat yang jika diparalelkan dengan garis dapat saling berpotongan. Sekali pun jawaban yang diberikan oleh suku Mundurucu hanyalah sebatas tebakan. Tapi, alasan yang dikemukakan sangatlah masuk akal dan dapat dipercayai. 
Pertanyaan tentang soal Non-Euclidian ini menunjukkan bahwa pengetahuan geometri yang selama ini dipelajari oleh semua orang tidak mengarah pada sebuah kebenaran. Sebaliknya, pendidikan geometri telah menipu kita.Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang geometri Euclidian oleh orang-orang berpendidikan diterima seperti apa adanya dan dapat diterapkan di mana saja.

Tulisan di atas merupakan sebuah fakta bahwa pola pemikiran geometri  ada di dalam diri setiap manusia tanpa terkecuali atau dengan kata lain bahwa "software" geometri sudah ada dalam diri manusia .
Ini merupakan salah satu alasan mengapa Allah menurunkan petunjuknya dalam pola geometri Ka'bah  

 Catatan : Untuk lebih memahami makna pola ruang Al Qur'an dapatlah kiranya membaca tulisan dalam blog ini berjudul : Manhaj Al Bait Al Atiq